dzikir

Motif Kain Batik Truntum

Simbol cinta yang tulus tanpa syarat, abadi, dan semakin lama semakin terasa subur berkembang (tumaruntum).

Motif Kain Batik Tulis Madura

Madura Proverb: lebbi bagus pote tollang, atembang pote mata. Better off dead (white bone) rather than shame (white of the eye).

Motif Kain Batik Yogyakarta

Yogyakarta city is known as a center of classical Javanese fine art and culture such as batik, music, and puppet shows.

Motif Kain Batik Grompol

Grompol, which means gather together symbolizes the coming together of all goods things, such as luck, happiness, children, and harmonious married life.

Motif Kain Batik Indonesia Lainnya

Batik has become one of the principal means of expression of the spiritual and cultural values of Southeast Asia.

Rabu, 17 Oktober 2012

Opini Audit

Otonomi daerah adalah pemberian kewenangan dan keleluasaan kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya daerah secara optimal. Agar tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan, hal tersebut harus seiring dengan pengawasan dan pengendalian yang kuat, serta pemeriksaan yang efektif.
Pengawasan dilakukan oleh pihak eksternal pemda, yaitu DPRD dan masyarakat.  Pengendalian, dilakukan secara internal oleh pemda untuk memastikan kebijakan dilaksanakan dengan baik sehingga dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.  Sedangkan pemeriksaan (audit) dilakukan oleh badan yang memiliki kompetensi dan independensi, yang sampai saat ini di Indonesia hanya boleh dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Untuk memberikan penilaian terhadap LKPD, maka BPK sebagai auditor akan memberikan opini yang terdiri dari 4 jenis, yaitu :
Pertama, Opini Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified Opinion), adalah opini audit yang akan diterbitkan jika LKPD dianggap memberikan informasi yang bebas dari salah saji material.  Jika LKPD mendapat opini jenis ini, artinya auditor meyakini berdasarkan bukti-bukti audit yang dikumpulkan, pemda dianggap telah menyajikan LKPD yang sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan tidak terdapat salah saji meterial, yang dapat mempengaruhi laporan keuangan secara keseluruhan.
Kedua, Opini Wajar Dengan Pengecualian (Qualified Opinion), adalah opini audit yang diterbitkan jika sebagian besar informasi dalam LKPD bebas dari salah saji material, kecuali untuk rekening atau item tertentu yang menjadi pengecualian.  Sebagian akuntan memberikan julukan little adverse (ketidakwajaran yang kecil) terhadap opini jenis ini, untuk menunjukan adanya ketidakwajaran dalam item tertentu, namun demikian ketidakwajaran tersebut tidak mempengaruhi kewajaran LKPD secara keseluruhan.  Jika opini ini diberikan, maka auditor harus menjelaskan alasan pengecualian dalam laporan auditnya.
Ketiga, Opini Tidak Wajar (Adverse Opinion), adalah opini audit yang diterbitkan jika LKPD mengandung salah saji material, atau dengan kata lain LKPD tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya.  Jika LKPD mendapatkan opini jenis ini, berarti auditor meyakini LKPD tidak disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, sehingga bisa menyesatkan pengguna laporan keuangan dalam pengambilan keputusan.  Dalam hal ini, auditor wajib menjelaskan alasan pendukung pendapat tidak wajar, dan dampak utama yang disebabkan oleh ketidakwajaran tersebut
Keempat, Tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer), sebagian akuntan menganggap opini jenis ini bukanlah opini, dengan asumsi jika auditor menolak memberikan pendapat artinya tidak ada opini yang diberikan.  Opini jenis ini diberikan jika auditor tidak bisa meyakini apakah LKPD wajar atau tidak. Opini ini bisa diterbitkan jika auditor menganggap ada ruang lingkup audit yang dibatasi secara material oleh pemda yang diaudit, misalnya auditor tidak bisa memperoleh bukti-bukti audit yang dibutuhkan untuk bisa menyimpulkan dan menyatakan pendapat.
Analogi nilai rapor yang lazim dikenal selama ini, yaitu biru dan merah.  Kelompok biru untuk WTP dan WDP, sedangkan kelompok merah untuk adverse dan disclaimer. Hal ini penting, mengingat berkembang di kalangan masyarakat yang menganggap bahwa WDP adalah rapor merah, sehingga jika LKPD diberikan opini WDP, maka pemda dianggap gagal.
Perlu dipahami, bahwa WDP walaupun tidak sempurna kewajarannya yang disebabkan adanya item tertentu yang dianggap tidak wajar, tetapi ketidakwajaran tersebut tidak mengganggu LKPD secara keseluruhan, sehingga LKPD tetap dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan, selama hal-hal yang dikecualikan diungkapkan dalam laporan audit.  Jika mau diberikan nilai dalam angka, maka LKPD yang diberikan opini WTP nilainya akan berisar antara 80 sampai dengan 100, sedangkan LKPD yang diberikan opini WDP nilainya akan berkisar antara 60 sampai dengan 80.  Jadi, WDP bukanlah rapor merah, walaupun harus diakui bahwa didalamnya terdapat nilai merah.
Selanjutnya, pemda yang saat ini mendapat opini WDP jangan sampai berpuas diri, karena tuntutan masyarakat terhadap akuntabilitas semakin kedepan akan semakin tinggi.  Pemda harus tetap mengoptimalkan seluruh sumberdayanya agar mendapat opini WTP, yang mencerminkan bahwa LKPD yang dilaporkan bebas dari salah saji material, atau dengan kata lain bebas dari nilai merah, sehingga rapor pemda nilainya akan menjadi biru sempurna.

Akuntansi Pemerintahan dan Good Governance

Mungkin ada yang tidak percaya bahwa selama 60 tahun Indonesia merdeka, keuangan negara ini dikelola dengan sebuah aturan yang diterbitkan oleh Belanda pada tahun 1864.  Tidak perlu heran, karena memang begitulah kenyataannya, selama ini keuangan negara dikelola berdasarkan Indonesische Comptabiliteitswet (ICW) Stbl. 1864 No. 106, dan diundangkan lagi teksnya yang telah diperbaharui untuk ketiga kalinya dalam Stbl. 1925 Nomor 448, selanjutnya diubah dan diundangkan dalam Lembara Negara 1954 Nomor 6, 1955 Np. 49 dan terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 1968.
Dalam perjalanannya memang terjadi beberapa kali perubahan, tetapi pada dasarnya peraturan yang dipakai adalah peraturan produksi Belanda, oleh karena itu istilah Stbl 1925 sangat populer dikalangan pengelola keuangan pemerintah sampai dengan era milenium baru.  Begitu kuatnya peraturan ini dibenak para pengelola keuangan pemerintah, sehingga ketika akhirnya terbit peraturan baru yang mengatur hal yang sama, “sifat-sifat” bawaan dari Stbl 1925 masih agak sulit dihilangkan.
Walaupun saat itu belum ditetapkan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), bukan berarti dalam pengelolaan keuangan negara tidak dilakukan pencatatan sama sekali, selama ini pencatatan transaksi keuangan dilakukan dengan metode pencatatan tunggal (single entry) sebagaimana yang dahulu banyak dianut oleh negara-negara kontinental (Eropa), maklum saja karena peraturannyapun diadopsi dari sana (Belanda).
Jadi, meskipun tidak secara resmi dikatakan sebagai SAP, Indonesia sebenarnya sudah memiliki Sistem Akuntansi Pemerintahan sejak dulu, hanya saja sistem yang digunakan pada saat itu dapat dikatakan sebagai akuntansi tradisional’ yang hanya menghasilkan laporan perhitungan anggaran pendapatan dan belanja.  Perhitungannya cukup sederhana, pendapatan berapa ? belanja berapa ? selisihnya adalah surplus atau defisit.
Atas kerjasama berbagai pihak terkait, akhirnya pada tanggal 13 Juni 2005 terbit Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.  Menurut salah seorang Anggota Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP) Jan Hoesada, terbitnya SAP untuk pertama kalinya adalah Reformasi Akuntansi Pemerintahan Tahap Pertama, disebutkannya bahwa terbitnya SAP bukan tanpa tantangan, dimana para kelompok status quo akan single entry dan akuntansi cara lama berusaha mengulur waktu, yang konon kelompok ini mempunyai akses ke pusat kekuasaan dan pusat pembuatan Undang-Undang.
Basis Akuntansi Pemerintahan
Reformasi akuntansi pemerintahan tahap pertama berhasil menerbitkan SAP berbasis cash toward Accrual atau disebut juga semi akrual, dimana laporan keuangan menerapkan basis kas untuk pos-pos Laporan Realisasi Anggaran dan Basis Akrual untuk pos-pos Neraca.  Secara sederhana Basis kas dapat diartikan pencatatan transaksi ketika kas/uang benar-benar diterima/dikeluarkan oleh suatu entitas, sedangkan basis akrual adalah pencatatan transaksi ketika transaksi itu terjadi walaupun kas/uang belum diterima/dikeluarkan secara nyata.  Oleh karena SAP menerapkan kedua basis tersebut, maka disebut semi akrual.
Jujur saja, sampai saat ini SAP masih diterapkan secara tertatih-tatih di semua instansi pemerintahan, termasuk dilingkungan Pemerintah Pusat sendiri, hal ini dibuktikan dengan diterimanya Opini Disclaimer (tidak memberikan pendapat) terhadap Laporan Keungan Pemerintah Pusat (LKPP) 5 tahun berturut-turut.  Begitupun dilingkungan Pemerintah Daerah (Pemda), sebagian besar Pemda masih  berada diantara opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dan Disclaimer, sedangkan Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) masih menjadi sesuatu yang “mahal”, sehingga tidaklah banyak yang mampu mencapainya.
Ditengah ketertatihan pemerintah dalam menerapkan SAP tahap pertama, saat ini KSAP sudah bersiap kembali menerbitkan SAP tahap kedua, yang masih menurut Jan Hoesada disebut sebagai Reformasi Akuntansi Pemerintahan Tahap Kedua.  SAP tahap kedua ini sudah hampir selesai penyusunannya, bahkan draft-nya sudah dapat diunduh di situs ksap.org.  SAP tahap kedua sebagian besar mengadopsi International Public Sector Accounting Standard (IPSAS) yang menerapkan akrual penuh (full accrual).
Menurut penulis, basis semi akrual ataupun akrual penuh bukanlah masalah yang cukup berarti bagi pemerintah.  Kalaupun pemerintah kesulitan dalam melaksanakannya, saat ini banyak diproduksi sistem komputerisasasi akuntansi pemerintahan yang cukup mudah digunakan.  Basis-basis tersebut hanyalah sistem pencatatan yang masing-masing memiliki kelemahan dan keunggulan.  Dalam dunia akuntansi, perubahan standar adalah hal yang biasa, bahkan dilingkungan akuntansi komersial, standar bisa direvisi beberapa kali dalam setahun.
Permasalahannya, akuntansi bukanlah sistem sakti yang mampu menjadikan pengelolaan keuangan pemerintah menjadi sempurna dengan penerapan standar-standar.  Akuntansi sebagai sebuah sistem, sama dengan sistem-sistem lainnya dimana akuntansi mengolah data menjadi informasi yang salah satu sifatnya adalah “garbage in – garbage out”, dimana jika data yang menjadi input adalah data sampah, maka informasi yang dihasilkanpun adalah informasi sampah.
Dalam kenyataannya, di dunia komersialpun dikenal istilah window dressing, dimana para pelaku akuntansi mempercantik laporan keuangannya agar terlihat lebih menarik dengan menghalalkan segala cara.  Hal ini mungkin atau bahkan sudah terjadi juga dilingkungan akuntansi pemerintahan, yang diindikasikan dengan banyak terungkapnya temuan-temuan dalam audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Jika kondisinya demikian, maka yang dibutuhkan bukan sekedar basis-basis pencatatan seperti basis kas ataupun akrual, lebih dari itu dibutuhkan basis moralitas yang menyentuh sisi moral para pelaku akuntansi pemerintahan.  Oleh karena itu penulis ingin menyebutnya sebagai Akuntansi Pemerintahan Berbasis Moral.
Ada 5 (lima) ciri yang mendasari akuntansi pemerintahan berbasis moral, yaitu kejujuran, kejujuran, kejujuran, kejujuran dan kejujuran.  lima kejujuran itu sebagai landasan dalam lima bagian besar pengelolaan keuangan pemerintah, yaitu kejujuran dalam penganggaran, kejujuran dalam mengelola pendapatan, kejujuran dalam mengelola belanja, kejujuran dalam menyajikan laporan keuangan dan kejujuran dalam pengawasan.
Untuk mewujudkannya, dibutuhkah perangkat pendukung berupa Etika dan Standar Profesional Akuntan Pemerintahan.  Etika dan Standar Profesional sejatinya diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), seperti yang sejak lama dimiliki oleh akuntan publik.  Kendalanya, tidak semua pelaku akuntansi pemerintahan adalah akuntan atau anggota IAI.  Selain itu kalaupun diberlakukan, keterikatan akuntan pemerintahan dengan IAI tidak sekuat akuntan publik yang sangat tergantung dengan keanggotaannya di IAI.
Akuntan pemerintahan digaji oleh Pemerintah, sumber penghasilannya tidak terkait secara langsung dengan organisasi IAI.  Lebih jauh lagi, keberadaan seorang akuntan di instansi pemerintahan, tidaklah menjadi harga mati bahwa tugasnya selalu terkait dengan akuntansi.  Walaupun demikian, penyusunan Etika dan Standar Profesional Akuntan Pemerintahan menjadi hal yang perlu diperhatikan.
Perangkat lainnya adalah sistem kepangkatan khusus bagi akuntan pemerintahan.  Sampai saat ini akuntan dilingkungan pemerintahan belum diposisikan sebagai profesi yang membutuhkan keahlian khusus, padahal seiring semakin kompleksnya SAP, maka dibutuhkan keahlian khusus dalam tugas yang berkaitan dengan akuntansi.  Idealnya, dari sudut pandang profesionalisme akuntan dapat diposisikan dalam kelompok jabatan fungsional, sehingga sistem kepangkatannya memiliki aturan tersendiri, yang sudah lebih dulu diberlakukan untuk profesi lainnya, seperti dokter, apoteker atau guru.


Sumber:
http://akuntansipemerintahan.wordpress.com

Selasa, 16 Oktober 2012

Pengantar Akuntansi Sektor Publik

Pengantar Akuntansi Sektor Publik

Definisi Akuntansi Sektor Publik

“…mekanisme teknik dan analisis akuntansi yang diterapkan pada pengelolaan dana masyarakat di lembaga - lembaga tinggi negara dan departemen - departemen dibawahnya, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, LSM dan Yayasan Sosial maupun pada proyek-proyek kerjasama sektor publik serta swasta." (Bastian,2010)

Senin, 15 Oktober 2012

STANDAR AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK

Standar akuntansi merupakan pedoman umum atau prinsip-prinsip yang mengatur perlakukan akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan untuk tujuan pelaporan kepada para pengguna laporan keuangan, sedangkan prosedur akuntansi merupakan praktek khusus yang digunakan untuk mengimplementasikan standar. Untuk memastikan diikutinya prosedur yang telah ditetapkan, sistem akuntansi sektor publik harus dilengkapi dengan sistem pengendalian intern atas penerimaan dan pengeluaran dana publik.

Penetapan standar akuntansi sangat diperlukan untuk memberikan jaminan dalam aspek konsistensi pelaporan keuangan. Tidak adanya standar akuntansi yang memadai akan menimbulkan implikasi negatif berupa rendahnya reliabilitas dan objektivitas informasi yang disajikan, inkonsistensi dalam pelaporan keuangan serta menyulitkan pengauditan.

Proses penetapan dan pelaksanaan standar akuntansi sektor publik merupakan masalah yang serius bagi praktek akuntansi, profesi akuntan, dan bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Pembuatan suatu standar mungkin dapat bermanfat bagi suatu pihak, namun dapat juga merugkan bagi pihak lain. Penentuan mekanisme yang terbaik dalam menetapkan keseragaman standar akuntansi merupakan faktor penting agar standar akuntansi dapat diterima pihak-pihak yang berkepentingan dan bermanfaat bagi pengembangan akuntansi sektor publik itu sendiri.

Menurut Mardiasmo (Mardiasmo, 2004) ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam penetapan standar akuntansi, antara lain:

  1. Standar memberikan pedoman tentang informasi yang harus disajikan dalam laporan posisi keuangan, kinerja, dan aktivitas sebuah organisasi bagi seluruh pengguna informasi.
  2. Standar memberikan petunjuk dan aturan tindakan bagi auditor yang memungkinkan pengujian secara hati-hati dan independen saat menggunakan keahlian dan integritasnya dalam mengaudit laporan suatu organisasi serta saat membuktikan kewajaran.
  3. Standar memberikan petunjuk tentang data yang perlu disajikan yang berkaitan dengan berbagai variabel yang patut dipertimbangkan dalam bidang perpajakan, regulasi, perencanaan serta regulasi ekonomi dan peningkatan efisiensi ekonomi serta tujuan sosial 1ainnya
  4. Standar menghasilkan prinsip dan teori yang penting bagi seluruh pihak yang berkepentingan dalam disiplin ilmu akuntansi.

LABA - RUGI DALAM TINJAUAN KONSEP ISLAM

LABA - RUGI  DALAM  TINJAUAN  KONSEP  ISLAM
Oleh  :  Nurkhikmah

I.    Pendahuluan

 “  Hai orang –orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.  Dan, hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.  Dan, janganlah penulis enggan menuliskannya  sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis dan hendaklah orang yang berutang  itu mengimlakkan  ( apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhanmu, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari utangnya.  Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah keadaannya atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.  Dan, persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang –orang lelaki diantaramu jika tidak ada  dua orang lelaki, bolehseorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi –saksi yang kamu ridhoi, supaya jika seorang lupa, seorang lagi mengingatkannya.  Janganlah saksi – saksi itu enggan memberi keterangan apabila mereka dipanggil dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar, sampai batas waktu membayarnya.  Yang demikian itu lebih adil di disi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak  (menimbulkan) keraguanmu…..(  Al –Baqarah ;  282).  “


Islam sangat memperhatikan aspek - aspek muamalah seperti perhatiannya terhadap ibadah, dan mengkombinasikan antara keduanya dalam kerangka yang seimbang. Syariat islam juga mengandung hukum -hukum syar’i yang umum yang mengatur muamalah keuangan dan nonkeuangan . Sebagai contoh , riset -riset dalam akuntansi islam menerangkan bahwa syariat islam sudah menckup kaidah - kaidah dan hukum - hukum yang mengatur operasional pembukuan (akuntansi), muamalah (transaksi - transaksi sosial) atau perdagangan.

Salah satu tujuan usaha (dagang) adalah meraih laba yang merupakan cerminan pertumbuhan harta. Laba ini muncul dari proses pemutaran modal dan pengoperasiannya dalam kegiatan dagang dan moneter. Islam sangat mendorong pendayagunaan harta/modal dan melarang penyimpanannya sehingga tidak habis dimakan zakat, sehingga harta itu dapat merealisasikan peranannya dalam aktivitas ekonomi.

Di dalam islam, laba mempunyai pengertian khusus sebagaimana yang telah di jelaskan oleh para ulama salaf dan khalaf. Mereka telah menetapkan dasar-dasar penghitungan laba serta pembagiannya dikalangan mitra usaha. Mereka juga menjelaskan kapan laba itu digabungkan kepada modal pokok untuk tujuan penghitungan zakat, bahkan mereka juga menetapkan kriteria -kriteria yang jelas untuk menentukan kadar dan nisbah zakat yaitu tentang metode-metode akuntansi penghitungan zakat.

 II.    Pembahasan

A.    Pengertian  Laba  ( Khath)
    
     Pengertian laba secara bahasa ataumenurut Al –Qur’ an, As – Sunnah, dan pendapat ulama – ulama fiqih dapat kita simpulkan bahwa laba ialahpertambahan pada modal pokok perdagangan atau dapatjuga dikatakan sebagai tambahan nilai yang timbul karena barter atau ekspedisi dagang.
     Berikut ini beberapa aturan tentang laba dalam konsep Islam :
1. Adanya harta ( uang yang dikhususkan untuk perdagangan.
2. Mengoperasikan modal tersebut secara interaktif dengan dasar unsur-unsur  lain yang terkait untuk produksi, seperti usaha dan sumber –sumber alam.
3. Memposisikan harta sebagai obyek dalam pemutarannya karena adanya kemungkinan –kemungkinan pertambahan atau pengurangan jumlahnya.
4. Sematnya modal pokok yang berarti modal bisa dikembaikan.

B.    Pengertian  Rugi  ( Khasarah )

     Khasarah ( Rugi) dalam konsep Islam mempunyai beberapa macam pengertian sesuai dengan tempat dan ruang lingkup yang dibicarakan , yaitu  :
1. Di bidang akidah .  Orang kaffir dan musyrik mencari  agama selain Islam, itu dianggap orang-orang yang merugi ( Khaasirun).
2. Dalam ibadah , tidak memperoleh pahala dari amalannya, berarti semua amalannya hilang dan tidak berguna.
3. Dalam bidang zakat, tidak memperoleh pahala dari harta kekayaannya yang tidak dikeluarkan zakatnya.
4. Dalam muamalah, kekurangan harta atau mengurangi harta dan timbangan.
5. Dalam akuntansi, berkurangnya pendapatan dari biaya-biaya yang keluar.

     Adapun pengertian yang akan kita pakai dalam topik ini adalah kekurangan yang terdapat pada harta perdagangan.  Karenanya, setiap biaya yang dikeluarkan berbentuk uang tanpa adanya pemasukan maka itu disebut rugi.
    
C.    Hubungan antara Laba dan Nama’ ( Pertumbuhan), hasil ( ghallah), dan faidah (Pendapatan) dalam muamalah.

     Nama’ ( pertumbuhan) ialah pertumbuhan pada pendapatan atau pada harta dalam jangka awaktu tertentu.   Para ulama fiqih malikiyah membagi nama’ dari segi sifatnya menjadi laba ( khususnya laba dagang ) , ghallah, dan faidah.

1. Dari hubungan antara laba dan nama’ yaitu laba dagang ( Ar – ribh at tijari) diaartikan sebagai pertambahan pada harta yang telah dikhususkan untuk perdagangan sebagai hasil dari proses barter dan perjalanan bisnis.  Laba ini dalam konsep akuntansi konvensional disebut laba dagang ( Ribh tijari).
2. Al – Ghallah ( laba insidentil), pertambahan yang terdapat pada barang dagangan sebelum penjualan, seperti wool atau susu dari hewan yang akan dijual.  Pertambahan seperti ini tidak bersumber pada proses dagang dan tidak pula pada usaha manusia.  Pertambahan seperti ini dalam konsep akuntansi positif  (konvensional ) disebut laba yang timbul dengan sendirinya / laba incidental atau laba minor atau pendapatan marginal atau laba sekunder.
3. Al  Faidah ( Laba yang berasal dari modal pokok) yaiut pertambahan pada barang milik ( asal modal pokok) yang ditandai dengan perbedaan antara harga waktu pembelian dan harga penjualan , yaitu sesuatu yang baru dan berkembang dari barang-barang milik, seperti susu yang telah diolah yang berasal dari hewan ternak.  Dalam konsep akuntansi konvensional disebut laba utama (primer) atau laba dari pengoperasian modal pokok.

D. Batasan – Batasan dan Kriteria Penentuan Laba dalam Islam.

     Dalam teori akuntansi konvensional tidak satupun pendapat yang tegas yang dapat diterima tentang batasan- batasan dan  kriteria penentuan laba.   Menuraut konsep Islam, nilai – nilai keimanan, akhlak dan tingkah laku seorang pedagang muslim memegang peranan utama dalam mempengaruhi penentuan kadar laba dalam transaksi atau muamalah.
     Kriteria –kriteria Islam secara umum yang dapat memberi pengaruh dalam penentuan   batas laba yaitu :

1. Kelayakan dalam Penetapan Laba
Islam menganjurkan agar para pedagang tidak berlebihan dalam mengambil laba.  Ali bin Thalib r. a. berkata, “ Wahai para saudagar !  Ambillah ( laba) yang pantas maka kamu akan selamat ( berhasil) dan jangan kamu menolak laba yang kecil karena itu akan menghalangi kamu dari mendapatkan ( laba) yang banyak .”
Pernataan ini menjelaskan bahwa batasan laba ideal ( yang pantas dan wajar) dapat dilakukan dengan merendahkan harga.  Keadaan ini sering menimbulkan bertambahan jumlah barang dan meningkatnya peranan uang dan pada gilirannya akan membawa pada pertambahan laba. 

2. Keseimbangan antara Tingkat Kesulitan dan Laba
Islam menghendaki adanya kesimbangan antara standar laba dan tingkat kesulitan perputaran serta perjalanan modal.  Semakin tinggi tingkat kesulitan  dan resiko , maka semakin besar pula laba yang diinginkan pedagang.
Pendapat para  ulama fiqih, ahli tafsir,  dan para pakar akuntansi Islam di atas menjelaskan bahwa ada hubungan sebab akibat (kausal ) antara tingkat bahaya serta resiko dan standar laba yang diinginkan oleh si pedagang.  Karenanya, semakin jauh perjalanan , semakin tinggi resikonya, maka semakin tinggi pula tuntutan pedagang terhadap standar labanya.  Begitu pula sebaliknya, akan tetapi semua ini dalam kaitnnya dengan pasar islami yang dicirikan kebebasan bermuamalah hingga berfungsinya unsur penaawaran dn unsure permintaan.  Pasar islami juga bercirikan bebasnya dari praktik –praktik monopoli, kecurangan, penipuan, perjidian, pemalsuan, serta segala jenis jual beli yang dilarang oleh syariat.  Jadi, di sini , iman, akhlak dan tingkah laku yang baik mempunyai peran yang sangat penting dalam kesucian pasar.

3. Masa  Perputaran  Modal
Peranan  modal berpengaruh pada standarisasi laba yang diinginkan oleh pedagang, yaitu dengan semakin pajangnya masa perputaran dan bertambahannya tingkat resiko, maka semakin tinggi pula standar laba yang yang diinginkan oleh pedagang atau seorang pengusaha.  Begitu juga dengan semakin berkurangnya tingkat bahaya, pedagang dan pengusaha pun akan menurunkan standarisasi labanya.  Setiap standarisasi laba yang sedikit akan membantu penurunan harga, hal ini juga akan menambah peranan modal dan memperbesar laba.

4. Cara Menutupi Harga Penjualan
Jual beli boleh dengan harga tunai sebagaimana juga boleh dengan harga kredit.  Juga boleh dengan tunai sebagiannya saja dan sisanya dibayar dengan cara kredit (cicilan), dengan syarat adanya keridhoan keduanya ( pedagang dan pembeli).  Jika harga dinaikkan dan si penjual memberi tempo waktu pembayaran, itu juga boleh karena penundaan waktu pembayaran itu adalah termasuk harga yang merupakan bagian si penjual. 

5. Unsur –Unsur Pendukung
Di samping unsur– unsur  yang dapat memberikan pengaruh pada standarisasi laba, seperti unsur –unsur yang berbeda dari waktu ke waktu, atau keadaan ekonomi, baik yang marketable  maupun yang non marketable, bagaimanapun juga unsur–unsur itu tidak boleh bertentangan dengan kaidah –kaidah hukum Islam. 

E.    Dasar – Dasar Pengukuran Laba dalam Islam

1. Taqlib dan Mukhatarah  ( Interaksi dan Resiko )
Laba  adalah hasil dari perputaran modal melalui transaksi bisnis , seperti menjual dan membeli, atau jenis-jenis apa pun yang dibolehkan syar’i.  Untuk itu, pasti ada kemungkinan bahaya atau resiko yang akan menimpa modal yang nantinya akan menimbulkan pengurangan modal pada suatu putaran dan pertambahan  padaputaran lain.  Tidak boleh menjamin pemberian laba dalam perusahaan –perusahaan mudharabah dan musyarakah. 

2. Al – Muqabalah, yaitu perbandingan antara jumlah hak milik pada akhir periode pembukuan dan hak – hak milik pada awal periode yang sama, atau dengan membandingkan nilai barang  yang ada pada akhir itu  dengan nilai barang yang ada pada awal periode yang sama.  Juga bisa dengan membandingkan pendapatan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan pendapatan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan income  (pendapatan) .

3. Keutuhan modal pokok, yaitu  laba tidak akan tercapai kecualli setelah utuhnya modal pokok dari segi kemampuan secara ekonomi sebagai alat penukar barang  yang dimiliki sejak awal aktivitas ekonomi.

4.  Laba dari produksi, Hakikatnya dengan Jual Beli dan Pendistribusian, yaitu 
Pertambahan yang terjadi pada harta selama setahun dari semua aktivitas penjualan dan pembelian, atau memproduksi dan menjual yaitu dengan pergantian barang menjadi uang dan pergantian uang  menjadi barang dan seterusnya , maka barang yang belum terjual pada akhir tahun juga mencakup pertambahan yang menunjukkan perbedaan antara harga yang pertama dan nilai harga yang sedang berlaku.
Berdasarkan niali ini, ada dua macam laba yang terdapat pada akhir tahun, yaitu laba yang berasal dari proses jual beli dalam setahun dan laba suplemen, baik yang nyata maupun yang abstrak karena barang –barangnya belum terjual.

5. Penghitungan  nilai barang di akhir tahun
Tujuan penilaian sisa barang yang belum sempat terjual di akhir tahun adalah untuk penghitungan zakat atau untuk menyiapkan neraca-neraca keuangan yang didasarkan pada nilai penjualan yang berlaku di akhir tahun itu, serta dilengkapi dengan daftar biaya-biaya pembelian dan pendistribusian.  Dengan cara ini, tampaklah perbedaan antara harga yang pertama dan nilai yang berlaku yang dapat dianggap sebagai laba abstrak.
Proses penilaian yang didasarkan pada nilai pasaran ( penjualan) itu berlaku untuk barang dagangan, sedangkan penilaian pada modal tetap berlaku untuk menghitung kerusakan –kerusakan ( yang merupakan salah satu unsure biaya produksi), maka penilainnya harus berdasarkan harga penukaran .

F.    Cara  Pengukuran  Laba  dalam  Islam
    
     Dalam islam, metode penghitungan laba didasarkan pada asas perbandingan.  Perbandingan itu adakalanya antara nilai harta di akhir tahun dan di awal tahun, atau perbandingan antara harga pasar yang berlaku untuk jenis barang tertentu di akhir tahun dan di awal tahun , atau juga bisa antara pendapatan –pendapatan dan biaya – biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan income –income tersebut.
    
1. Cara  Pertambahan  pada  Modal  Pokok

Laba  =  nilai harta pada akhir tahun -  modal pokok di awal tahun

Metode ini didasarkan pada pemikiran bahwa laba yang merupakan pertumbyhan pada modal pokok itu merupakan hasil dari proses petukaran barang dalam periode waktu tertentu.
Contoh  :
Tanggal  11 Juli 2002, Tuan  Kamal  mulai berdagang dengan modal     Rp100.000.000 .  Pada akhir tahun , kekayaan / harta yang dimiliki Tuan Kamal sebagai berikut :  uang tunai  Rp  45.000.000,  piutang  Rp  50.000.000,  dan sisa barang   Rp 25.000.000.
Pertanyaannya adalah bagaimana cara menghitung laba yang menjadi hakTuan  Kamal.

Jawab :
Total Harta /kekayaan pada akhir tahun    =  Rp 45.000.000 +  Rp 50.000.000  + Rp  25.000.000    =   Rp  120.000.000
Modal  Pokok      =   Rp  100.000.000
Laba                     =   Rp  120.000.000  -  Rp  100.000.000  =  Rp  20.000.000

2. Metode perbandiangan antara nilai barang yang ada di awal dan akhir tahun

Laba  =  ( nilai seluruh kekayaan di akhir tahun +  nilai penjualan selama setahun) -  ( nilai barang yang ada di awal tahun + biaya pembelian barang selama  setahun )

Metode ini didasarkan pada pengukuran nilai kekayaan yang ada pada awal tahun dengan nilai barang yang ada pada akhir tahun, dengan langsung menghitung nialai barang-barang yang dibeli dan dijual dalam setahun.  Metode ini cocok untuk perusahaan yang memakai system transaksi tunai.

3. Metode  Penganggaran  (  Hak –hak milik murni pada awal tahun )

Laba  =  Hak milik bersih akhir tahun  - Hak milik bersih awal tahun

Yang dimaksud dengan hak kepemilikan bersih ( jaminan keuangan bagi si pemilik perusahaan) ialah nilai barang –barang yang ada dikurangi dengan jumlah nilai permintaan yang masih akan dikeluarkan atau dibayarkan perusahaan.
Penerapan  metode ini harus menggunakan informasi yang lengkap terhadap barang – barang perusahaan serta semua permintaan atau pesanan sejak awal tahun sampai akhir tahun.

4. Metode perbandingan antara pendapatan dan pengeluaran

Laba  =  Pendapatan  ( pemasukan)  -  Pengeluaran  ( Biaya )

Unsur unsur pendapatan dan biaya harus unsur – unsur yang halal , tidak mengandung unsur –unsur  yang dilarang  ( haram).



III.   Kesimpulan


1.    Laba  dalam konsep islam ialah pertambahan pada modal pokok dagang, pertambahan  yang berasal dari barter ( taqlib) dan ekspedisi yang mengandung resiko (  mukhatarab) adalah untuk memelihara harta.   Laba tidak akan ada kecuali setelah selamatnya modal pokok secara utuh.
    Rugi adalah kekurangan yang terdapat pada harta perdagangan.  Karenanya, setiap biaya yang dikeluarkan berbentuk uang tanpa adanya pemasukan maka itu disebut rugi.

2.    Faktor –faktor penting yang menentukan batas ukuran laba dalam konsep islam adalah  :
a.    nilai iman, akidah, serta tingkah laku  pedagang.
b.    kewajaran dalam mengambil laba.
c.    periode perputaran modal.
d.    keseimbangan antara tingkat resiko dan bahaya dengan laba.
e.    cara menutupi harga penjualan ( harga barang yang akan dijual)

3.    Pengukuran laba dalam islam telah menetapkan beberapa kaidah penting, diantaranya  yaitu  :
  • taqlib dan mukhatarah
  • keselamatan dan keutuhan modal pokok
  • perbandingan  ( muqabalah)
  • mendapatkan laba dengan produksi dan jual beli serta pembagiannya secara proposional.
  • penilaian barang berdasarkan harga yang sedang berlaku  dan lain sebagainya.

4.    Metode penghitungan laba dalam islam  :
  • metode penghitungan kelebihan pada modal pokok.
  • metode perbandingan antara nilai barang yang ada di akhir tahun dan nilai barang yang ada pada awal tahun.
  • metode perbandingan antara pendapatan dan biaya atau pengeluaran.


    
DAFTAR   PUSTAKA
    
1. Dr. Ahmad Tamam Muhammmad  Said, 1990;  “At – Takyif asy –syar’i wa al – muhasabi li ar –Rbh fi al –Masyu’at al –islamiah,”  Mukhtamar Perkantoran dalam Islam si Universitas Al –Azhar .

2.    Dr.  Husein  Syahatah, 2001; “  Pokok –Pokok  Pikiran  Akuntansi  Islam”, Akbar Media  Eka Sarana, Jakarta.