ASPEK GOVERNANSI DI SEKTOR PUPUK
(PROGRAM SUBSIDI HARGA TIMBULKAN MORAL HAZARD DI SEMUA LINI)
Ketua Komite Nasional Kebijakan Governance
Masalah governansi dapat terjadi, baik pada tahap perumusan maupun tahap implementasi kebijakan publik, tidak terkecuali pada kebijakan sistem produksi dan distribusi pupuk. Indikasi adanya masalah dapat terlihat dengan sering berulangnya masalah kelangkaan pupuk atau solusi yang dilaksanakan menimbulkan masalah baru yang lebih serius. Lebih teknis lagi, assessment bisa dilakukan dengan melakukan kajian, apakah tolok ukur kebijakan turunan dari masing-masing instansi pemerintah terkait, mendukung tolok ukur dari kebijakan nasional swasembada pangan. Kemudian, apakah menimbulkan moral hazard yang sangat besar, sehingga biaya-biaya pemasangan rambu-rambu dan upaya pengawasannya sangat besar (rawan dari penyimpangan). Terlebih juga menimbulkan masalah baru yang lebih serius, misalnya deindustrialisasi pupuk yang akan membawa pada krisis ketahanan pangan. Dalam bahasa teknisnya, jangan sampai penetapan kebijakan publik berikut kebijakan turunannya justru menimbulkan biaya agensi (agency cost) yang sangat besar, bahkan membahayakan kepentingan bangsa Indonesia.
Menarik untuk kita cermati, persediaan pangan di Asia pada masa mendatang menjadi sangat krusial. Mengapa demikian? Karena Asia dengan penduduk terbesar di dunia, ternyata lahan pengolahan tanaman pangannya semakin menciut, tidak terkecuali Indonesia. Itu sebabnya Pemerintah Indonesia mencanangkan kebijakan swasembada pangan. Kebijakan turunannya adalah pupuk harus dijamin ketersediaan dan keterjangkauan harganya. Industri pupuk wajib hukumnya untuk direvitalisasi dan dikembangkan.
Lebih lanjut, tentu saja perlu dukungan jaminan pasokan gas secara jangka panjang, sebagai bahan utama industri pupuk. Namun ironisnya, sampai sekarang tidak ada kepastian pasokan gas. Kontrak pasokan gas dibatasi 5 tahun dengan mengikuti harga pasar, dan di antaranya ada yang akan berakhir pada tahun 2011. Di sisi lain, BUMN produsen pupuk, di mana hampir 80 persen produknya berupa pupuk bersubsidi, meski pemerintah memberi margin 10 persen bisa dipastikan margin laba bersih hanya sekitar 5%, tidak cukup untuk mendukung revitalisasi pabrik-pabrik pupuk yang rata-rata sudah berumur lebih dari 25 tahun. Dari sini tampak belum sinkronnya kebijakan antarinstansi pertanian, perindustrian, perdagangan, ESDM, keuangan, dan Kementerian Negara BUMN, di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Sangat valid Perumusan kebijakan publik secara nasional seyogianya harus dirumuskan berdasarkan pertimbangan yang dapat memberikan manfaat maksimal bagi rakyat Indonesia, yang paling efisien, dan yang dapat mengantisipasi risiko krisis pangan pada masa mendatang. Oleh karena itu, kebijakan publik swasembada pangan menjadi sangat valid. Jika hal itu menjadi pilihan pemerintah, tentu saja perlu dirumuskan kebijakan-kebijakan turunan setiap instansi terkait yang tidak boleh bertentangan dengan kebijakan nasional. Artinya, dalam konteks industri pupuk, ketersediaan gas secara jangka panjang harusnya menjadi prioritas. Demikian juga, industri pupuk harus diberi laba yang cukup, agar dapat memupuk modal untuk revitalisasi dan pengembangan industri pupuk.
Untuk mengatasi keluar dari kemelut, pada tahap transisi diperlukan dukungan pendanaan revitalisasi industri pupuk dalam bentuk PMP (penyertaan modal pemerintah) atau paling tidak pinjaman lunak. Pada industri pupuk di Indonesia ada beberapa persoalan yang timbul dari kebijakan publik yang kurang tepat. Persoalan-persoalan ini harus segera diatasi dengan cara memperbaiki kebijakan publik yang ada.
Masalah pertama, sebagai konsekuensi pupuk diperlukan untuk menunjang program swasembada pangan, maka pemerintah memberi subsidi harga pupuk kepada petani kecil. Akibatnya terdapat tiga harga pupuk yang berlaku secara nasional. Ketiga harga pupuk yaitu harga subsidi untuk petani, harga perkebunan dan harga ekspor. Tentu saja dengan tiga harga pupuk yang berbeda, ditambah lagi pengaturan rayonisasi dan penetapan pupuk bersubsidi sebagai barang dalam pengawasan, menyebabkan biaya dan risiko pengawasannya (agency cost) menjadi sangat tinggi.
Masalah kedua, bahan baku gas dibeli berdasarkan harga pasar, sedangkan harga pupuk diatur sesuai kebijakan pemerintah. Jika memang pilihan kebijakan publiknya demikian (yaitu subsidi harga pupuk diatur oleh pemerintah), konsekuensi logisnya adalah bahwa seluruh biaya yang timbul dan berkaitan dengan kebijakan tersebut (agency cost), juga ditanggung oleh pemerintah. Biaya-biaya tersebut tidak hanya biaya subsidi harga pupuk tetapi juga termasuk biaya ketersediaan gas dan keterjangkauan harga gas serta biaya yang terkait dengan revitalisasi dan ekspansi pabrik pupuk.
Masalah ketiga, di satu sisi demi menjamin ketersediaan pupuk dan keterjangkauan harga pupuk melalui kebijakan subsidi harga pupuk, hal ini telah menyebabkan industri pupuk termarginalkan, tidak dapat berkembang secara optimal, bahkan saat ini cenderung mengarah kepada deindustrialisasi. Di sisi lain, posisi Indonesia sebagai pemasok gas dan batu bara dunia (sebagai bahan baku utama pupuk), juga sebagai negara agraris, dan ditunjang dengan harga ekspor pupuk yang tinggi, seharusnya industri pupuk Indonesia berkembang pesat.
Masalah keempat, program subsidi harga pupuk, menimbulkan moral hazard di semua lini dari hulu hingga ke hilir. Terjadi benturan kepentingan antara masing-masing pemeran utama industri ini. Produsen BUMN sesuai amanat Undang-Undang BUMN dan Undang-Undang Perseroan Terbatas tentu harus memikirkan keberlanjutan (sustainability) industri pupuk. Di sisi lain sebagai agen pemerintah, pengemban PSO, BUMN harus melaksanakan kebijakan subsidi harga pupuk yang tentu saja tidak sinkron dengan karakter badan usaha pencari laba (komersial). Petani juga menghadapi hal yang sama. Daripada memakai sendiri pupuk subsidi untuk bertani yang hasilnya baru diperoleh dalam waktu berbulan-bulan, petani lebih terdorong untuk menjual pupuknya kembali karena terbuka peluang untuk segera mendapatkan uang tunai.
Berdasarkan kajian di atas perlu kiranya dirumuskan kembali pola pemberian subsidi dan insentif langsung kepada petani kecil yang tidak mendistorsi proses pembentukan harga pupuk. Dengan demikian secara bertahap mengarah kepada pembentukan satu harga pupuk. Rekomenasi ini sekaligus menjadi solusi semua masalah yang dihadapi industri pupuk nasional saat ini. Dengan catatan tetap perlu penerapan manajemen perubahan yang efektif. Penyesuaian dilakukan secara bertahap agar tidak terjadi kejutan yang tidak perlu.
Lihat juga Artikel/Tulisan menarik lainnya:
Ditjen Migas :: Media Tracking / Krisis-Gas-Bisa-Dorong-Deindustrialisasi
Deindustrialisasi di Indonesia Benar-benar Nyata | ruli nizar's blog
Deindustrialisasi Sebagai Dampak Neoliberalisme | Koran Online Indonesia: Berjuang Tanpa Kebencian
» Blog Archive » Yang Tidak Muncul Dalam Kampanye LANJUTKAN! : Deindustrialisasi 2004-2009 dan FTA ASEAN-China
KASUS ENRON dan KAP ARTHUR ANDERSEN | Uwiiii's Blog
Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure by Michael Jensen, William Meckling :: SSRN