Mungkin ada yang tidak percaya bahwa selama 60 tahun Indonesia
merdeka, keuangan negara ini dikelola dengan sebuah aturan yang
diterbitkan oleh Belanda pada tahun 1864. Tidak perlu heran, karena
memang begitulah kenyataannya, selama ini keuangan negara dikelola
berdasarkan Indonesische Comptabiliteitswet (ICW) Stbl. 1864 No. 106, dan diundangkan lagi teksnya yang telah diperbaharui untuk ketiga kalinya dalam Stbl. 1925 Nomor 448,
selanjutnya diubah dan diundangkan dalam Lembara Negara 1954 Nomor 6,
1955 Np. 49 dan terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 1968.
Dalam perjalanannya memang terjadi beberapa kali perubahan, tetapi
pada dasarnya peraturan yang dipakai adalah peraturan produksi Belanda,
oleh karena itu istilah Stbl 1925 sangat populer dikalangan pengelola
keuangan pemerintah sampai dengan era milenium baru. Begitu kuatnya
peraturan ini dibenak para pengelola keuangan pemerintah, sehingga
ketika akhirnya terbit peraturan baru yang mengatur hal yang sama,
“sifat-sifat” bawaan dari Stbl 1925 masih agak sulit dihilangkan.
Walaupun saat itu belum ditetapkan Standar Akuntansi Pemerintahan
(SAP), bukan berarti dalam pengelolaan keuangan negara tidak dilakukan
pencatatan sama sekali, selama ini pencatatan transaksi keuangan
dilakukan dengan metode pencatatan tunggal (single entry)
sebagaimana yang dahulu banyak dianut oleh negara-negara kontinental
(Eropa), maklum saja karena peraturannyapun diadopsi dari sana
(Belanda).
Jadi, meskipun tidak secara resmi dikatakan sebagai SAP, Indonesia
sebenarnya sudah memiliki Sistem Akuntansi Pemerintahan sejak dulu,
hanya saja sistem yang digunakan pada saat itu dapat dikatakan sebagai
akuntansi tradisional’ yang hanya menghasilkan laporan perhitungan
anggaran pendapatan dan belanja. Perhitungannya cukup sederhana,
pendapatan berapa ? belanja berapa ? selisihnya adalah surplus atau
defisit.
Atas kerjasama berbagai pihak terkait, akhirnya pada tanggal 13 Juni
2005 terbit Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar
Akuntansi Pemerintahan yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara. Menurut salah seorang Anggota
Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP) Jan Hoesada, terbitnya SAP
untuk pertama kalinya adalah Reformasi Akuntansi Pemerintahan Tahap
Pertama, disebutkannya bahwa terbitnya SAP bukan tanpa tantangan, dimana
para kelompok status quo akan single entry dan
akuntansi cara lama berusaha mengulur waktu, yang konon kelompok ini
mempunyai akses ke pusat kekuasaan dan pusat pembuatan Undang-Undang.
Basis Akuntansi Pemerintahan
Reformasi akuntansi pemerintahan tahap pertama berhasil menerbitkan SAP berbasis cash toward Accrual atau
disebut juga semi akrual, dimana laporan keuangan menerapkan basis kas
untuk pos-pos Laporan Realisasi Anggaran dan Basis Akrual untuk
pos-pos Neraca. Secara sederhana Basis kas dapat diartikan pencatatan
transaksi ketika kas/uang benar-benar diterima/dikeluarkan oleh suatu
entitas, sedangkan basis akrual adalah pencatatan transaksi ketika
transaksi itu terjadi walaupun kas/uang belum diterima/dikeluarkan
secara nyata. Oleh karena SAP menerapkan kedua basis tersebut, maka
disebut semi akrual.
Jujur saja, sampai saat ini SAP masih diterapkan secara
tertatih-tatih di semua instansi pemerintahan, termasuk dilingkungan
Pemerintah Pusat sendiri, hal ini dibuktikan dengan diterimanya Opini Disclaimer (tidak
memberikan pendapat) terhadap Laporan Keungan Pemerintah Pusat (LKPP) 5
tahun berturut-turut. Begitupun dilingkungan Pemerintah Daerah
(Pemda), sebagian besar Pemda masih berada diantara opini Wajar Dengan
Pengecualian (WDP) dan Disclaimer, sedangkan Opini Wajar Tanpa
Pengecualian (WTP) masih menjadi sesuatu yang “mahal”, sehingga
tidaklah banyak yang mampu mencapainya.
Ditengah ketertatihan pemerintah dalam menerapkan SAP tahap pertama,
saat ini KSAP sudah bersiap kembali menerbitkan SAP tahap kedua, yang
masih menurut Jan Hoesada disebut sebagai Reformasi Akuntansi
Pemerintahan Tahap Kedua. SAP tahap kedua ini sudah hampir selesai
penyusunannya, bahkan draft-nya sudah dapat diunduh di situs
ksap.org. SAP tahap kedua sebagian besar mengadopsi International
Public Sector Accounting Standard (IPSAS) yang menerapkan akrual penuh (full accrual).
Menurut penulis, basis semi akrual ataupun akrual penuh bukanlah
masalah yang cukup berarti bagi pemerintah. Kalaupun pemerintah
kesulitan dalam melaksanakannya, saat ini banyak diproduksi sistem
komputerisasasi akuntansi pemerintahan yang cukup mudah digunakan.
Basis-basis tersebut hanyalah sistem pencatatan yang masing-masing
memiliki kelemahan dan keunggulan. Dalam dunia akuntansi, perubahan
standar adalah hal yang biasa, bahkan dilingkungan akuntansi komersial,
standar bisa direvisi beberapa kali dalam setahun.
Permasalahannya, akuntansi bukanlah sistem sakti yang mampu
menjadikan pengelolaan keuangan pemerintah menjadi sempurna dengan
penerapan standar-standar. Akuntansi sebagai sebuah sistem, sama dengan
sistem-sistem lainnya dimana akuntansi mengolah data menjadi informasi
yang salah satu sifatnya adalah “garbage in – garbage out”, dimana jika data yang menjadi input adalah data sampah, maka informasi yang dihasilkanpun adalah informasi sampah.
Dalam kenyataannya, di dunia komersialpun dikenal istilah window dressing,
dimana para pelaku akuntansi mempercantik laporan keuangannya agar
terlihat lebih menarik dengan menghalalkan segala cara. Hal ini mungkin
atau bahkan sudah terjadi juga dilingkungan akuntansi pemerintahan,
yang diindikasikan dengan banyak terungkapnya temuan-temuan dalam audit
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Jika kondisinya demikian, maka yang dibutuhkan bukan sekedar
basis-basis pencatatan seperti basis kas ataupun akrual, lebih dari itu
dibutuhkan basis moralitas yang menyentuh sisi moral para pelaku
akuntansi pemerintahan. Oleh karena itu penulis ingin menyebutnya
sebagai Akuntansi Pemerintahan Berbasis Moral.
Ada 5 (lima) ciri yang mendasari akuntansi pemerintahan berbasis
moral, yaitu kejujuran, kejujuran, kejujuran, kejujuran dan kejujuran.
lima kejujuran itu sebagai landasan dalam lima bagian besar pengelolaan
keuangan pemerintah, yaitu kejujuran dalam penganggaran, kejujuran
dalam mengelola pendapatan, kejujuran dalam mengelola belanja,
kejujuran dalam menyajikan laporan keuangan dan kejujuran dalam
pengawasan.
Untuk mewujudkannya, dibutuhkah perangkat pendukung berupa Etika dan
Standar Profesional Akuntan Pemerintahan. Etika dan Standar
Profesional sejatinya diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI),
seperti yang sejak lama dimiliki oleh akuntan publik. Kendalanya,
tidak semua pelaku akuntansi pemerintahan adalah akuntan atau anggota
IAI. Selain itu kalaupun diberlakukan, keterikatan akuntan
pemerintahan dengan IAI tidak sekuat akuntan publik yang sangat
tergantung dengan keanggotaannya di IAI.
Akuntan pemerintahan digaji oleh Pemerintah, sumber penghasilannya
tidak terkait secara langsung dengan organisasi IAI. Lebih jauh lagi,
keberadaan seorang akuntan di instansi pemerintahan, tidaklah menjadi
harga mati bahwa tugasnya selalu terkait dengan akuntansi. Walaupun
demikian, penyusunan Etika dan Standar Profesional Akuntan Pemerintahan
menjadi hal yang perlu diperhatikan.
Perangkat lainnya adalah sistem kepangkatan khusus bagi akuntan
pemerintahan. Sampai saat ini akuntan dilingkungan pemerintahan belum
diposisikan sebagai profesi yang membutuhkan keahlian khusus, padahal
seiring semakin kompleksnya SAP, maka dibutuhkan keahlian khusus dalam
tugas yang berkaitan dengan akuntansi. Idealnya, dari sudut pandang
profesionalisme akuntan dapat diposisikan dalam kelompok jabatan
fungsional, sehingga sistem kepangkatannya memiliki aturan tersendiri,
yang sudah lebih dulu diberlakukan untuk profesi lainnya, seperti
dokter, apoteker atau guru.
Sumber:
http://akuntansipemerintahan.wordpress.com
Rabu, 17 Oktober 2012
Akuntansi Pemerintahan dan Good Governance
Rabu, Oktober 17, 2012
Akuntansi Pemerintahan, Akuntansi Publik, Good Governance