dzikir

Jumat, 26 April 2013

Menaikan BBM Keputusan Tidak Populer

Masih ingat Cerita Mario M Cuomo cerita sang gubernur  yang menghindari keputusan tidak populer dengan menaikan pajak?

Pada Awal Pemerintahannnya, Pertemuan meeting pertama pembahasan anggaran.
Mr. Cuomo dihadapkan pada kenyataan bahwa dia harus menaikan  Pajak untuk mengurangi belanja pengeluaran sekitar $ 300 juta.

Cuomo telah berjanji kepada pemilihnya bahwa dia tidak akan menaikkan salah satu dari tiga pajak yaitu: pajak pendapatan individu, pajak perusahaan, dan pajak penjualan.

Penasihat gubernur menyajikan sekitar 40 pilihan pendapatan tapi secara pribadi mendesak Cuomo untuk menaikkan pajak penjualan.

Mr Cuomo kemudian menjelaskan kepada peserta meeting bahwa penasihatnya adalah seorang "budgeteers", “Mereka tidak mengerti psikologi".

Sementara meningkatkan pendapatan dengan menaikan pajak dari salah satu dari tiga besar pajak akan  menghambat citra stabilitas yang Cuomo ingin buat dan akan menodai kredibilitas Cuomo dimata konstituen-nya. selengkapnya baca kisah sang gubernur.

Di tahun 2013 ini presiden RI SBY merasa tidak dapat lagi menghindari membuat keputusan untuk tidak menaikan BBM yang tinggal menunggu pelaksanaannya saja.

Coba bandingkan dengan tulisan artikel berikut:

Tulisan pengamat ekonomi Hendri Saparini tahun 2005 yang berjudul pantas Saja BBM Dinaikkan

Benar, memang sangat pantas bila pemerintah memilih menaikkan harga BBM.
Sebab, keputusan menaikkan harga BBM memang merupakan pilihan kebijakan
paling gampang, paling cepat, dan tanpa perlu kerja keras untuk
menyelesaikan masalah anggaran pemerintah yang terbatas.

Berbagai kritikan dan keberatan telah disampaikan sejak pemerintah -secara
dini, pada awal pemerintahannya- mengumumkan akan menaikkan harga BBM 40
persen.

Berbagai masukan juga diberikan berbagai kalangan. Mulai usul pemerintah
harus memilih kebijakan yang lebih adil -karena kenaikan harga BBM akan
semakin memberatkan rakyat- sampai berbagai usul konkret bahwa masih banyak
cara lain yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengurangi beban anggaran
tanpa harus menaikkan harga BBM.

Memang tidak adil bila pemerintah mendahulukan pengurangan subsidi BBM tanpa
sebelumnya melakukan pengurangan subsidi bunga obligasi bank rekap yang
selama ini dinikmati bankir dan pengusaha nakal. Bahkan, nilai subsidi bank
rekap adalah dua kali lipat jumlah subsidi BBM.

Demikian juga, tanpa mendahulukan upaya efisiensi di tubuh Pertamina,
kenaikan harga BBM jelas bukan pilihan yang bijaksana. Kita tahu,
inefisiensi yang terjadi di Pertamina telah menjadi salah satu sumber
tingginya biaya produksi BBM. Tambahan lagi, dengan daya beli masyarakat
yang rendah seperti saat ini, kenaikan BBM jelas akan sangat membebani
rakyat.

Tetapi, semua kritik dan usul sama sekali tidak dipedulikan oleh pemerintah.
Sikap ini sangat pas dengan gaya public relation (PR) pemerintah yang sedang
tren saat ini, I don't care. Sebaliknya, pemerintah justru menegaskan untuk
menyegerakan keputusan menaikkan harga BBM dengan tingkat kenaikan yang
tinggi, rata-rata 29%!

Bahkan, untuk memaksa rakyat menerima pilihan kebijakan itu, berbagai
strategi PR pun ditempuh tanpa memedulikan berbagai hasil jajak pendapat
yang menunjukkan keberatan rakyat terhadap kenaikan harga BBM. Jajak
pendapat Kompas, misalnya, menunjukkan 77% responden di Jawa tidak setuju
dengan kenaikan BBM dan rata-rata 80% responden mengeluhkan akan semakin
mahalnya harga kebutuhan pokok.

Ketidakpedulian pemerintah tersebut terjawab bila kita mengikuti berbagai
pernyataan dan argumen yang disampaikan untuk mendukung kebijakan kenaikan
BBM.

Tidak Paham Rakyat Miskin
Membaca pernyataan Menko Perekonomian yang menyatakan keyakinannya bahwa
dampak kenaikan harga BBM sangat kecil bagi rakyat miskin, saya sangat
prihatin. Minggu lalu, Menko Perekonomian menegaskan, kenaikan BBM mempunyai
dampak yang minimal terhadap rakyat miskin. Bapak Menteri memisalkan bahwa
rakyat miskin dengan penghasilan Rp 1 juta hanya akan terbebani dampak
kenaikan BBM Rp 20 ribu per bulan. Pernyataan itu benar-benar membuat kening
saya berkerut. Mengapa? Ternyata, Bapak Menteri tidak memahami siapa
sebenarnya rakyat miskin.

Ada dua hal penting dalam pernyataan tersebut. Pertama, pemahaman Bapak
Menteri yang ternyata salah tentang rakyat miskin dan keyakinan terhadap
kecilnya dampak kenaikan BBM yang tidak mendasar. Pemisalan tersebut
menunjukkan ketidakpahaman seorang menteri terhadap fakta dan data. Sangat
sulit dipercaya apabila seorang Menko Perekonomian yang juga pelaku bisnis
tidak paham bahwa besarnya upah minimum regional (UMR) di Jakarta
saja -wilayah UMR tertinggi nasional- hanya Rp 711.843 pada tahun 2005.
Bahkan, UMR di Kabupaten Semarang dan Bondowoso hanya Rp 440.000 dan Rp
310.00 untuk tahun 2004, jauh di bawah angka Rp 1 juta.

Padahal, jumlah rakyat Indonesia yang pendapatannya jauh di bawah UMR masih
sangat banyak dan ada sekitar 20 juta orang yang berada di bawah garis
kemiskinan.

Dari pernyataan tersebut, jelas sekali bahwa Menko Perekonomian memang tidak
memahami fakta yang semestinya menjadi dasar dalam menentukan pilihan
kebijakannya.

Dampak Tidak Fair
Kedua, akibat pemahaman yang salah terhadap kondisi rakyat yang akan
menanggung beban kenaikan BBM, akhirnya pemerintah menganggap enteng dampak
negatif kenaikan BBM. Menko Perekonomian menyatakan bahwa kenaikan harga BBM
hanya akan berdampak pada kenaikan sebesar 2% dari total pengeluaran
masyarakat miskin saat ini. Demikian juga Mendag berkeyakinan bahwa kenaikan
harga kebutuhan pokok maksimal hanya sebesar 1%. Artinya, menurut kajian Ibu
Menteri, harga beras yang semula Rp 2.300 per kilogram hanya akan naik Rp 23
per kilogram atau harga gula pasir akan naik Rp 45 dari Rp 4.500 menjadi Rp
4545. Padahal, pada kesempatan yang sama, Ibu Menteri mengakui bahwa saat
ini Indonesia juga mempunyai masalah dalam distribusi dan harga kebutuhan
pokok sangat rentan akibat ketergantungan yang tinggi terhadap barang impor.

Artinya, pertama, pernyataan Tim Ekonomi tersebut sangat menyederhanakan
masalah dan tidak sesuai fakta. Kedua, pemerintah telah mengabaikan data
bahwa bagi rakyat miskin, 100% pendapatannya adalah untuk konsumsi. Bagi
kelompok ini, tidak ada cadangan atau tabungan yang dapat digunakan untuk
menutupi defisit pendapatan akibat kenaikan harga BBM selain dengan
berutang.

Bila PR pemerintah terhadap dampak negatif kenaikan harga BBM sangat
minimal, sebaliknya dalam PR-nya pemerintah sangat optimistis
mempropagandakan dampak positif kenaikan BBM dalam memberantas kemiskinan.
Pemerintah yakin bahwa kenaikan BBM akan mengurangi jumlah orang miskin
Indonesia yang saat ini berjumlah 16,25% menjadi 13,87% dari total jumlah
penduduk.

Pernyataan Menteri Negara Perencanaan Nasional/Kepala Bappenas tersebut
berupaya meyakinkan kita bahwa pemerintah menjamin dana kompensasi BBM yang
Rp 10,5 triliun pada tahun 2005 akan sampai dengan aman ke tangan 36 juta
masyarakat miskin. Di samping itu, Ibu Menteri juga yakin bahwa dana
tersebut akan mampu mengompensasi bertambahnya beban rakyat miskin akibat
kenaikan harga BBM.

Pernyataan tersebut menunjukkan pemerintah sedang berupaya menutupi fakta
tentang berbagai kelemahan, kebocoran, dan rendahnya efektivitas penyaluran
dana kompensasi BBM selama ini. Padahal, berdasarkan temuan Bank Dunia,
kurang lebih dua pertiga penyaluran beras miskin tidak sampai ke tangan yang
berhak.

Demikia juga, seperti disampaikan Departemen Kesehatan, setidaknya, ada
sekitar 6,3 juta keluarga miskin yang tidak mempunyai akses terhadap
pelayanan kesehatan gratis yang merupakan bagian dari program kompensasi.
Bahkan, sampai saat ini, pemerintah belum menyampaikan hasil evaluasi dan
rencana penyaluran dana kompensasi yang lebih efektif dan bertanggung jawab.

Lagi-lagi, fakta ini menunjukkan rendahnya kemampuan pemerintah dalam
mengelola kebijakan. Manajemen kebijakan dengan menyampaikan
pernyataan-pernyataan tersebut menunjukkan masih dipakainya PR gaya lama
yang tidak jujur. Terbukti Tim Ekonomi belum memahami permasalahan dengan
baik, tetapi telah mengambil keputusan dengan tergesa-gesa.
Anehnya, dengan pernyataan-pernyataannya, pemerintah seakan bangga karena
mampu dan berani memilih kebijakan yang tidak populer di mata rakyat.
Sungguh sangat disayangkan, keputusan berani pemerintah justru telah salah
tempat. Pemilihan kebijakan jelas bukan ditujukan untuk menjadikan
pemerintah populer, tetapi yang lebih penting harus didasarkan pada
pemahaman masalah sehingga pemilihan kebijakan benar-benar adil dan berpihak
kepada rakyat.

###


Masih Relevankah Pendapat ini?


Terlepas dari apakah tulisan henri saparini pada tahun  2005 ini masih relevan atau tidak
untuk kondisi 2013, dan pendapat terbaru Henri saparini
di media masa baru-baru ini, dengan mengatakan pemerintah sebaiknya
melakukan efisiensi dari pada opsi menaikan BBM.

Lalu mengapa pemerintah tidak mengimport langsung
dari supplier atau produsen yang benar-benar mempunyai minyak sendiri?
Padahal dengan mengimport langsung dapat menghemaat anggaran pemerintah yang 
dipergunakan untuk mensubsidi BBM.

Bagaimana tambang-tambang minyak kita sendiri?
Bagaimana sumber alam tambang lainnya?
Kapan Rakyat Indonesia sebagai sejahtera?


Seorang Presiden RI siapapun dia tetap akan menemui masalah yang sama
antara menaikan atau tidak menaikan BBM.
Maka lihat saja isu BBM ini akan selalu menjadi ISU strategis dan
hangat untuk selalu disimak dan diperdebatkan.

Siapa pun presidennya kedepan akan selau dituntut untuk tidak menaikan BBM.
Selama Indonesia masih menjadi negara pengimport energi maka keputusan untuk tidak
menaikan BBM akan sulit, Kecuali indonesia dipimpin oleh seseoraang yang mau mengeluarkan
koceknya dalam-dalam untuk mensubsidi masyarakat, atau seorang leader yang benar-benar
mampu menggerakan dan memanfaatkan potensi kekayaan alam indonesia yang semata-mata untuk
kesejahteraan rakyat sesuai amanat undang-undang dasar.

Kita tunggu saja, rakyat sebagai prisiple (prinsipal) akan menyerahkan amanat kepemimpinan
dan pengeloalan negara kepada siapa. Akankah janji-janji politik untuk mensejahterakan terwujud.
Akankah Akuntansi Keperilakuan digunakan sebagai pertimbangan keputusan perekonomian?

Maka Kata Kuncinya adalah:
Menaikan BBM adalah Keputusan yang sangat tidak populer.